Selasa, 17 Januari 2017

Sejarah Perkebunan Tebu di Indonesia

Pada awalnya gula tebu dikenal oleh orang-orang Polinesia, kemudian menyebar ke India. Pada tahun 510 Sebelum Masehi, ketika menguasai India, Raja Darius dari Persia menemukan ”batang rerumputan yang menghasilkan madu tanpa lebah”. Seperti halnya pada berbagai penemuan manusia lainnya, keberadaan tebu sangat dirahasiakan dan dijaga ketat, sedangkan produk olahannya diekspor dan untuk menghasilkan keuntungan yang sangat besar.
Rahasia tanaman tebu akhirnya terbongkar setelah terjadi ekspansi besar-besaran oleh orang-orang Arab pada abad ketujuh sebelum sesudah masehi. Ketika mereka menguasai Persia pada tahun 642 mereka menemukan tanaman tebu yang sedang tumbuh dan kemudian mempelajari cara pembuatan gula. Selama ekspansi berlanjut mereka mendirikan pengolahan-pengolahan gula di berbagai daratan lain yang mereka kuasai, termasuk di Afrika Utara dan Spanyol.

Gula dikenal oleh orang-orang barat Eropa sebagai hasil dari Perang Salib pada abad ke-11. Para prajurit yang pulang menceritakan keberadaan “rempah baru” yang enak ini. Gula pertama diketahui tercatat di Inggris pada tahun 1099. Abad-abad berikutnya merupakan periode ekspansi besar-besaran perdagangan barat Eropa dengan dunia timur, termasuk di dalamnya adalah impor gula. Sebagai contoh, dalam sebuah catatan pada tahun 1319 harga gula di London sebesar “dua shilling tiap pound”. Nilai ini setara dengan beberapa bulan upah buruh rata-rata, sehingga dapat dikatakan gula sangatlah mewah pada waktu itu.
Orang-orang kaya menyukai pembuatan patung-patung dari gula sebagai penghias meja-meja mereka. Ketika Henry III dari Perancis mengunjungi Venice, sebuah pesta diadakan untuk menghormatinya dengan menampilkan piring-piring, barang-barang perak, dan kain linen yang semuanya terbuat dari gula.
Karena merupakan barang mahal, gula seringkali dianggap sebagai obat. Banyak petunjuk kesehatan dari abad ke-13 hingga 15 yang merekomendasikan pemberian gula kepada orang-orang cacat untuk memperkokoh kekuatan mereka.
Pada abad ke-15, pemurnian gula Eropa umumnya dilakukan di Venice. Venice tidak bisa lagi melakukan monopoli ketika Vasco da Gama berlayar ke India pada tahun 1498 dan mendirikan perdagangan di sana. Meskipun demikian, penemuan orang-orang Amerika lah yang telah mengubah konsumsi gula di dunia.
Dalam salah satu perjalanan pertamanya, Columbus membawa tanaman tebu untuk ditanam di kawasan Karibia. Iklim yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman tebu menyebabkan berdirinya sebuah industri dengan cepat. Kebutuhan terhadap gula yang besar bagi Eropa menyebabkan banyak kawasan hutan di kepulauan Karibia menjadi hampir seluruhnya hilang digantikan perkebunan tebu, seperti misalnya di Barbados, Antigua dan separuh dari Tobago. Tanaman tebu dibudidayakan secara massal. Jutaan orang dikirim dari Afrika dan India untuk bekerja di penggilingan tebu. Oleh karenanya, produksi gula sangat erat kaitannya dengan perdagangan budak di dunia barat.
Secara ekonomi gula sangatlah penting sehingga seluruh kekuatan Eropa membangun atau berusaha membangun jajahan di pulau-pulau kecil Karibia dan berbagai pertempuran terjadi untuk menguasai pulau-pulau tersebut. Selanjutnya tanaman tebu dibudidayakan di berbagai perkebunan besar di kawasan-kawasan lain di dunia (India, Indonesia, Filipina dan kawasan Pasifik) untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa dan lokal.
Perkebunan Tebu di Indonesia
Sebagian dari kita pasti masih ingat pelajaran sejarah saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar tentang penjajahan kolonial Belanda. Walaupun pemerintah kerajaan Belanda tidak menjajah langsung Nusantara tapi mereka menjajah kita secara ekonomi, lewat perusahaan dagang Hindia timur yang disebut VOC. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) adalah sebuah persekutuan dagang yang dibentuk oleh pengusaha Belanda yang tergabung dalam Heeren XVII  pada 20 Maret 1602. Tujuannya menjalankan kegiatan monopoli perdagangan di Hindia Timur. Namun sebagai pihak swasta, VOC memiliki keistimewaan untuk membuat perjanjian dengan para sultan dan membentuk tentara sendiri untuk membela diri.
Pecahnya perang Diponegoro (1825–1830) yang mengguncang Jawa saat itu membuat perusahaan asing VOC mengalami kerugian besar. Berakhirnya perang tersebut membuat VOC kehabisan Kas Perusahaan. Bahkan anggaran perang untuk strategi  Benteng Stelsel yang mampu melumpuhkan Pangeran Diponegoro terbukti juga mampu melumpuhkan perekonomian investor Eropa yang memiliki saham di VOC. Jatuhnya perekonomian itu membuat VOC mengangkat Van Den Bosch menjadi Gubenur Jenderal VOC dan menerapkan strategi tanam paksa ( The Cultuurstelsel ). Sistem tanam paksa adalah kebijakan untuk membangun kembali perekonomian VOC dengan memaksimalkan industri perekebunan dengan tenaga petani (Geertz 1983: 68).
Sistem tanam paksa pada awalnya bekerja dengan cukup baik yaitu mampu mewujudkan mendatangkan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial. Terjadi peningkatan besar-besaran terhadap hasil tanaman ekspor seperti kopi dan gula. Kesuksesan dari tanam paksa ini dikarenakan adanya kerjasama antara kolonial Belanda dengan elit lokal dan regional. Para elit akan diberikan bagian dari hasil tanaman ekspor yang disebut cultuur procenten (Jan Luiten Van Zenden & Daan Marks 2012: 97). Konsep ini merupakan dasar pembuatan bagi hasil petani tebu secara rendemen seperti yang diterapkan di industri gula saat ini.
Penanaman tebu sudah dikenal di Pulau Jawa pada perempat abad XVIII. Pada awalnya pengusaha swasta dari Cina dan Eropa mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia yang diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik tebu. Pada tahun 1950, di Jawa sudah terdapat 100 pabrik gula, 80 buah di antaranya dibangun di Batavia Dan selebihnya di Banten, Cirebon dan Pantai Utara Jawa Tengah (Mubyarto, dkk 1992:17).
disarikan dari berbagai sumber
gambar dari internet: http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/2303 ; https://yusurrifat.wordpress.com/; http://www.semboyan35.com/archive/index.php?thread-3364-11.html

0 comments:

Posting Komentar